

Ubedilah Badrun sebut elite, aparat, dan oligarki rusak semangat reformasi
News - Aras Atas | Nasional - Aksi Kamisan ke-862 di depan Istana Negara kembali menjadi panggung perlawanan moral. Dalam momentum kuliah jalanan yang berlangsung khidmat, Ubedilah Badrun—akademisi Universitas Negeri Jakarta dan eksponen gerakan reformasi 1998—turut hadir dan menyuarakan kegelisahan kolektif atas kondisi bangsa yang dinilainya mengalami kemunduran serius dalam reformasi.
Dalam orasinya, Ubedilah menggambarkan potret buram penegakan hukum dan HAM setelah 27 tahun reformasi digulirkan. Ia menyoroti bahwa skor penegakan hukum di Indonesia hanya berada di angka 0,53, mencerminkan lemahnya supremasi hukum. Wajah hukum dan hak asasi manusia, menurutnya, masih dihiasi catatan merah.
Tak hanya itu, pemberantasan korupsi pun dianggap stagnan bahkan memburuk. Skor indeks antikorupsi nasional belum berhasil menembus angka 40, dan korupsi justru kian merajalela dengan nilai kerugian yang mendekati angka seribu triliun rupiah.
"Tidak ada kemajuan dalam soal pengadilan HAM, pemberantasan korupsi, pembangunan demokrasi dan keadilan ekonomi, rakyat masih banyak yang menderita!" tegas Ubedilah Badrun yang juga dikenal sebagai aktivis kemanusiaan dan pejuang antikorupsi. Ia menambahkan, pelanggaran HAM masa lalu belum juga diadili, sementara pelanggaran baru terus muncul.
Di tengah situasi yang dinilainya penuh kemunduran itu, Ubedilah menyebut tiga aktor utama yang menjadi biang keladi rusaknya agenda reformasi: elite politik, aparat penegak hukum, dan oligarki ekonomi. Ketiganya dinilai gagal mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.
"Elit politik, aparat penegak hukum dan para oligark. Mereka tidak memiliki integritas, gagal menghadirkan good governance dan client government. Lemah supremasi hukum kita," tegas dosen sosiologi politik ini.
Saat diwawancarai media setelah aksi berakhir, Ubedilah juga menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurutnya, sejarah seharusnya menjadi ruang edukasi, bukan glorifikasi.
"Biarkan Soeharto seperti teks sejarah yang bebas dipahami warga negara agar menjadi pelajaran bagi generasi saat ini dan generasi masa depan bahwa Indonesia pernah mengalami episode kelam pada tahun 1998," tutup Ubedilah Badrun. |a.a
Komentar
Gabung dalam percakapan