

Sunarno soroti pidato Presiden Prabowo di May Day Fiesta; kritik kebijakan outsourcing dan usul revisi total UU Ketenagakerjaan
News - Aras Atas | Jakarta — Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno, memberikan respons kritis terhadap pidato Presiden Prabowo Subianto dalam acara May Day Fiesta 2025 yang berlangsung di Monas, Jakarta. Dalam pernyataannya, Sunarno menilai sejumlah gagasan yang dilontarkan Presiden perlu dikaji lebih dalam dan dikhawatirkan hanya menjadi gimik politik jika tak dilandasi kebijakan konkret yang berpihak pada buruh.
Salah satu hal yang disoroti adalah rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Menurut Sunarno, ide tersebut mesti dipelajari secara menyeluruh dari segi fungsi, kewenangan, hingga teknis pelaksanaannya. “Kami dari KASBI perlu memahami dulu konsep dewan ini seperti apa. Jangan sampai hanya menjadi lembaga baru yang tumpang tindih dengan lembaga perburuhan yang sudah ada,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa selama ini sudah ada sejumlah institusi resmi yang mengurus isu ketenagakerjaan, seperti Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003, KEPMEN 335/2009, serta PP No. 8/2005. Selain itu, Dewan Pengupahan juga telah berfungsi di tingkat nasional maupun daerah dengan keanggotaan yang mencakup pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha.
“Kalau lembaga baru ini tidak jelas arah dan fungsinya, maka hanya akan menambah beban administratif tanpa memberikan perlindungan nyata bagi kaum buruh,” ujar Sunarno. Ia menambahkan, “Jangan sampai hanya jadi sekedar gimmick belaka.”
Terkait rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK, Sunarno menekankan agar tugas utama satgas bukan hanya mengurus negosiasi pesangon, melainkan harus difokuskan pada upaya preventif dan perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja. Menurutnya, perlu ada investigasi menyeluruh terhadap perusahaan yang menyatakan bangkrut, termasuk audit keuangan yang kredibel.
“Pengawas ketenagakerjaan harus bisa melakukan mitigasi serius agar tidak terjadi lagi PHK massal karena alasan pailit, lalu pengusahanya kabur dan menelantarkan buruh,” ujar Sunarno. Ia menilai negara harus hadir dengan kekuatan regulatif yang melindungi hak-hak buruh, bukan hanya menjadi fasilitator negosiasi saat buruh sudah terpuruk.
Salah satu poin yang paling tajam dalam pernyataannya adalah kritik terhadap praktik outsourcing yang selama ini menjadi momok bagi buruh. Sunarno menegaskan bahwa tuntutan penghapusan outsourcing sudah diperjuangkan KASBI sejak 2002, namun sampai hari ini justru dilegalkan dan dilembagakan melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
“Outsourcing itu adalah bentuk perbudakan modern. Buruh tak punya posisi tawar, mudah di-PHK, sulit berserikat, dan hak-hak normatifnya sering dilanggar,” kata Sunarno tegas.
Ia menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk outsourcing: pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, yang keduanya dibuat untuk kepentingan fleksibilitas kerja bagi pengusaha, namun mengorbankan perlindungan buruh. Bahkan menurutnya, praktik ini telah menyebar luas di lembaga pemerintahan, BUMN, BUMD, hingga sektor perbankan dan industri lainnya.
Sunarno tidak segan menyebut bahwa bisnis outsourcing kini telah menjadi lahan basah bagi elit politik, oknum pejabat, bahkan sebagian pengurus serikat buruh sendiri. “Kondisi ini membuat perjuangan buruh makin sulit. Kita melawan sistem, bukan hanya regulasi,” ujarnya.
Dalam pandangannya, ke depan Indonesia perlu memiliki Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru, yang benar-benar melindungi seluruh jenis pekerja di berbagai sektor, termasuk pekerja informal seperti ojek online, kurir, pekerja rumah tangga, dan pekerja media.
“UU Ketenagakerjaan harus melindungi buruh secara menyeluruh—baik di sektor industri, pertanian, perikanan, pendidikan, hingga hiburan. Semua sektor itu rawan pelanggaran hak normatif, dan harus diakomodasi dalam undang-undang yang adil dan progresif,” ujar Sunarno.
Ia juga menekankan pentingnya partisipasi aktif serikat buruh dalam penyusunan undang-undang tersebut. “Pemerintah dan DPR wajib melibatkan unsur-unsur serikat buruh dalam pembahasan draft UU. Jangan hanya menyusun di ruang tertutup,” pungkasnya.
Pernyataan tegas Sunarno ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup buruh tidak bisa dilakukan sepihak, melainkan harus berdasarkan dialog dan partisipasi aktif pihak-pihak yang terdampak langsung. May Day bukan sekadar seremoni tahunan, tapi refleksi serius atas kondisi ketenagakerjaan yang masih penuh ketimpangan. |aras atas
Komentar
Gabung dalam percakapan